Hukum Waris
Hukum Waris
Abstract
Muhammad Ashrol Jabbar (D91216111)
Perlu kita ketahui bahwasannya agama Islam adalah agama paling adil dan memberikan penyelesaian yang tidak akan merugikan orang yang bersangkutan dengan permasalahan yg dihadapi. Al-Qur'an sudah menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Key Word: Waris
1. Latar Belakang
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, baik laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak.
Al Quran merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits dan ijma’ para ulama’ yang sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al Quran yang merinci suatu hukum secara detail, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
2. Pengertian Waris
Pengertian Hukum Waris menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam. Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
“Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya.
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam.
Syarat dan Rukun Waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
- Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
- Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
- Mati Haqiqy (mati sejati).Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
- Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
Pihak Yang Termasuk Golongan Ahli Waris.
Pengertian Ahli Waris
Ahli waris secara etimologi berarti keluarga.Dengan kata lain ahli waris adalah orang yang berhak mendapat bagiann dari harta peninggalan orang yang telah meninggal. Dinyatakan mempunyai hubungan kekrabatan baik karena darah, hubungan sebab perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya (Wala’).
Ada dua macam ahli waris:
Ahli Waris Nasabiyah, karena hubungan darah.
Ahli Waris Sababiyah, timbul karena perkawinan yang sah (al-musaharah), memerdekakan hamba sahaya (Wala’), atau karena perjanjian tolong menolong.
Apabila dilihat dari dari segi bagia-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:
Ahli waris ashab al-furud, ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya.
Ahli waris Sababiyah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa dari harta yang telah dibagikan kepada ashab al-furud.
Ahli waris Dhawi al-Arham, yaitu ahli waris hubungan darah, tetapi menurut Al Quran tidak berhak menerima warisan.
Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekatnya) sehingga yang lebih dekat berhak menerima warisan daripada yang jauh dapat dibedakan:
Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh.
Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh hubungan yang lebih dekat kekerabatannya.
Derajat Ahli Waris
Dalam pembagian warisan tidaklah seluruh ahli waris berada dalam derajat yang sama, melainkan berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan derajat, maka dalam pembagian didahulukan berdasarkan derajatnya.
Ashab al-Furud, yaitu golongan ahli waris yang haknya tertentu, yaitu
2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, atau 1/8.
Asabah, yaitu golongan ahli waris yang bagiannya tidak tertentu, tetapi
mendapatkan sisa dari ashab al-furud, atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashab al-furud. Asabah ada dua macam:
Asabah Nasabiah, yaitu asabah karena nasab.
Asabah bi al-Nafsi, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada ahli
waris tidak tercampuri wanita, mempunyai empat arah:
Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki dan
keturunannya, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara laki-laki kandung
dan seayah, serta anak laki-laki keturunannya masimgmasing dan seterusnya.
Arah paman, mencakup paman kandung maupun seayah,
serta keturunan mereka dan seterusnya.
Asabah bi al-Ghair, hanya ada empat ahli waris dan semuanya
wanita, yaitu:
Anak perempuan jika bersama dengan anak laki-laki.
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki jika bersama cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki.
Saudara kandung perempuan jika bersama saudara kandung
laki-laki.
Saudara perempuan seayah jika bersama dengan saudara lakilakinya.
Asabah Ma’a al-Ghair, khusus bagi seorang atau lebih saudara
perempuan kandung maupun seayah apabila mewarisi bersamaan
dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
yang tidak mempunyai saudara laki-laki.
Asabah Sababiah, yaitu asabah karena sebab, dalam hal ini
disebabkan karena memerdekakan budak.Hal ini disebabkan adanya ikatan yang mengikat orang yang memerdekakan dengan orang yang dimerdekakan (‘atiq), karena dikembalikan kepadanya kemerdekaan dan kemanusiaan yang sempurna.
Zawil Arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk dalam golongan pertama dan kedua.
Jika ahli waris tersebut ada semua, maka yang berhak mendapat warisan hanya suami/isteri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Metode Penghitungan dan Pembagian Warisan Dalam Islam.
Baik didalam Al Quran maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah ditentukan bahwa ada enam macam bagian-bagian ahli waris, yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, duapertiga, sepertiga, dan seperenam.
Penerima Bagian Setengah (1/2)
Suami
Seorang suami mendapatkan setengah harta apabila istri tidak meninggalkan anak. Sebagaimana yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 179, yang berbunyi: “Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperenam bagian.”
Anak Perempuan
Anak perempuan akan mendapat setengah bagian harta apabila anak tunggal atau tidak memiliki saudara laki-laki. Seperti dalam surat an-nisa’ ayat 11:
Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang ada...”
Cucu Perempuan Keturunan dari Anak Laki-Laki
Cucu perempuan akan mendapat setengah bagian harta apabila tidak ada anak laki-laki atau perempuan dari pewaris, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Saudara Perempuan Kandung
Saudara perempuan sekandung akan mendapat setengah bagian warisan apabila menjadi saudara tunggal atau tidak ada saudara laki-laki sekandung, tidak ada ahli waris keturunan pewaris, tidak ahli waris leluhur si pewaris (ayah atau kakek). Sebagaimana firman Allah:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah menfatwakn kepadamu tentang kalalah yaitu jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya...”
Saudara Perempuan Sebapak
Saudara perempuan sebapak akan mendapat setengah bagian harta apabila tidak ada saudara sekandung, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada saudara laki-laki seayah, tidak ada ahli waris dari keturunan pewaris, tidak ada ahli waris leluhur dari pewaris, dan saudara perempuan seayah tersebut adalah saudara tunggal.
Penerima Bagian Seperempat (1/4)
Suami
Suami akan mendapat seperempat bagian harta apabila pewaris (istri) meninggalkan anak. Selain itu apabila si pewaris meniggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Allah berfirman:
“Jika isteri-isterimu memiliki anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya...”
Istri
Istri akan mendapat seperempat bagian apabila ia merupakan salah satu ahli waris dari pewaris(suami) atau bila tidak ada ahli waris ketuturunan pewaris. Sebagaimana firman Allah:
“...para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunnyai anak...”
Penerima Bagian Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang mndapatkan 1/8 harta peninggalan si mayit hanya ada satu orang, yaitu istri (baik seorang maupun lebih). Istri mendapatkan s1/8 apabila si pewaris bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayat (suami).
Penerima Bagian Dua Pertiga (2/3)
Ahli waris yang menerima bagian 2/3 ada empat orang :
Dua orang atau lebih anak perempuan apabila ia tidak bersama-sama dengan laki-laki.
Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak laki-laki maupun anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung dengan ketentuan bahwa mereka tidak bersama dengan saudaralaki-laki sekandung, tidak bersama dengan bapak, dan far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki).
Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara laki-laki sebapak, tidak bersamaan dengan bapak, dan tidak bersama far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak).
Penerima Bagian Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang menerima bagian 1/3 ada dua golongan, yaitu :
Ibu
Ibu mendapatkan 1/3 dari harta waris apabila si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan, tidak mempunyai cucu perempuan dari anak laki-laki kandung.
Dua orang atau lebih saudara seibu (saudara laki-laki ata perempuan)
Apabila si mayit tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, dan tidak meninggalkan ayah. Maka kedua saudara tersebut mendapatkan 1/3 harta waris.
Penerima Bagian Seperenam (1/6)
Ahli waris yang menerima bagian 1/6 ada tujuh orang, yaitu :
Bapak
Bapak akan mendapatkan 1/6 apabila ia bebarengan dengan laki-laki dan anak perempuan si mayit.
Ibu
Ibu akan mendapatkan 1/6 apabila ia bersama dengan ahli waris keturunan si mayit atau bersama dua orang atau lebih saudara laki-laki maupun perempuan.
Kakek
Apabila seseorang meninggal lalu ia meninggalkan dua orang anak perempuan, istri, dan seorangg saudara laki-laki, maka kakek mendapatkan 1/6 .
Nenek
Nenek akan mendapatkan 1/6 apabila jumlah nenek tidak lebih dari empat orang, baik nenek dari pihak bapak, atau ibu bapak dan ibunya.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
Cucu perempuan dari anak laki-laki akan mendapatkan 1/6 apabila yang meninggal mempunyai satu anak perempuan, tidak ada bersama cuc perempuan tersebut cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Selain itu tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang.
Saudara perempuan seayah
Apabila saudara perempuan seayah bersama dengan saudara perempuan kandung, maka saudara perempuan seayah akan menerima warisan 1/6 dari harta waris.
Seorang saudara perempuan seibu (laki-laki/perempuan)
Seorang saudara perempuan seibu berhak mendapatkan 1/6 dari harta peninggalan dengan syarat : apabila si mayitt tidak mempunyai keturunan, dan tidak ada ahli waris si mayit dari golongan laki-laki.
Hal-hal yang menghalangi waris
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
”Tidak berhak si pembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.
Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I dengan isnad yang sahih).”
Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.
Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
Kepala negara yang berbeda.
Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI). Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”
Kesimpulan
Pengertian Hukum Waris menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani.
Al-Jawad, Ahmad Abd. 1986. Ushul ‘Ilm al-Mawarith, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah.
Al-Shammi, Salih Ahmad. 2008. Al-Faraid: Fiqhan Wa Hisaban, Beirut: al-Maktabah al-Islami.
Al-Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1973. Fiqh al-Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia.
Jazil, Saiful. 2014. Fiqih Mu’amalah, Surabaya: UINSA Press.
Manshur, Abd Al-Qadir. 2009. Buku Pintar Fiqih Wanita, Jakarta: Zaman.
Muhibbin, Moh. & Wahid, Abdul. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Sinar Grafika.
Rahman, Fatchur. 1981. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
Rofiq, Ahmad. 1993. Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Salman, H. R. Otje & Haffas, Mustofa. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
Thalib, Sajuti. 1993. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika.
Ummah, Dian Khairul. 2000. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
Usman, Suparman & Somawinata, Yusuf. 2002. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media,
Zahrah, Muhammad Abu. 1963. Ahkam al-Tirkat wa al-Mawarith, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Komentar
Posting Komentar