Ushul Fiqh: Dilalatul Nash, Iqtida', Mafhum Mukhallafah
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Didalam Ushul fiqih terdapat pembahasan mengenai dilalatul nass, dilalaltul iqtida’ dan juga mafhum mukhallafah. Dalam makalah yang kami susun ini akan kami bahas mengenai Konsep Dilalatul Nass kemudian kami akan membahas Konsep Dilalatul Iqtida’ dan kami akan membahas Konsep Dilalatul Nass.
.Oleh karena itu dengan beberapa pertimbangan yang kami lakukan maka kami menyusun sebuah makalah Ushul Fiqih dengan tema “Dilalatul Nass, Dilalatul Iqtida’, dan Mafhum Mukhallafah”
Rumusan Masalah
- Bagaimana Konsep dari Dilalatul Nass ?
- Bagaimana Konsep dari Dilalatul Iqtida’ ?
- Bagaimana Konsep dari Mafhum Mukhallafah ?
Tujuan
- Mengetahui Konsep dari Dilalatul Nass ?
- Mengetahui Konsep dari Dilalatul Iqtida’ ?
- Mengetahui Konsep dari Mafhum Mukhallafah ?
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Dilalat Al-Nass
Dilalat al-nass adalah penunjukkan lafal atas makna (hukum) bagi sesuatu yang didiamkan atau tidak dinyatakan oleh nash, sesuai dengan makna (hukum) bagi sesuatu yang dinyatakan oleh nash, dan penunjukkan tersebut berdasarkan suatu rasio yang logis atau makna yang dikandungnya.
Berikut contoh dilalat al-nass
Surah Al-Isra’ ayat 23
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya mengeluarkan uacapan” ah”,”cih,”ih” dan yang semakna kepada ibu bapak, dengan mererapkan konsep analisis dilalat al-nass, sesungguhnya terdapat rasio yang logis atau makna yang dikandungnya dan menjadi dasar pengharaman tersebut. Yakni menyakiti ibu-bapak dan tujuan dari pengharaman tersebut ialah agar senantiasa menghormati keduanya dan menahan diri dari menyakiti keduanya.
Surah an-Nisa’ ayat 10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ﴿١٠﴾
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Berdasarkan ibarat al-nass dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya memakan harta anak yatim secara zalim. Dengan menerapkan konsep analisis dilalat al-nass, sesungguhnya terdapat rasio yang logis atau makna yang dikandungnya yang menjadi dasar pengaharaman tersebut , yakni tindakan sewenang-wenang dan menyia-nyiakan harta anak yatim dengan cara melawan hukum. Kemudian, pada perbuatan lain seperti membakar harta anak yatim, sehingga perbuatan itu masuk dalam jangkauan nash dank arena itu haram pula hukumnya. Dengan demikian, keharaman memakan harta anakyatim secara zalim didasarkan ibarat al-nass, sedangkan keharaman membakar harta anak yatim didasarkan pada dilalat al-nass dari ayat itu
Surah Ali-Imran ayat 75
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَّا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّـهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿٧٥﴾
Artinya: Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.
Berdasarkan ibarat al-nass dari penggalan pertama ayat ini, dapat disimpulkan bahwa diantara orang-orang ahli kitab, ada mempunyai perangai amanah (dapat diercaya) sehigga dibolehkan memberikan amanah sejumlah besar harta kepada ahli kitab tersebut. Dengan menerapkan konsep dilalat al-nass, sesungguhnya terdapat rasio yang logis atau makna yag dikandungnya yang menjai dasar pembolehan memberikan amanah harta kepada ahli kitab tersebut, yakni perangai amanah yang sudah menjiwai diri orang ahli kitab. Kemudian, pada perbuatan lain seperti memberikan amanah sejumlah kecil harta kepada ahli kitab, terdapat pula rasio yang logis atau makna tersebut (perangai amanah yang sudah menjiwai diri orang ahli kitab) sehingga perbuatan itu masuk dalam jangkauan nash dan karena itu boleh pula hukumnya.
Berdasarkan ibarat al-nass dari penggalan kedua ayat ini, dapat disimpulkan bahwa diantara orang-orang ahli kitab, ada yang mempunyai perangai khianat sehingga dilarang memberikan amanah sejumlah kecil harta kepada ahli kitab tersebut. Dengan menerapkan konsep analisis dilalat al-nass, sesungguhnya terdapat rasio yang logis atau makna yang dikandungnya yang menjadi dasar pelarangan memberikan amanah dalam jumlah yang besar.
Hadits Nabi
Artinya: tidak ada qisas kecuali (pembunuhan ) dengan pedang (HR.Ibnu Majah)
Berdasarkan ibarat al- nass dari hadits ini, dapat disimpulkan bahwa hukuman qisas hanya dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan secara sengaja dengan menggunakan pedang/pisau/senjata tajam. Dengan menerapkan konsep analisis dilalat al-nass. Sesungguhnya terdapat rasio yang logis atau makna yang dikandungnya yang menjadi dasar penjatuhan hukuman qisas tersebut, yakni penggunaan alat atau benda yang patut diduga kuat dapat mengakibatkan hilangnya nyawa. Kemudian, pada perbuatan lain seperti membunuh orang lain secara sengaja dengan cara melemparkan bongkahan batu besar ketubuhnya, terdapat pula rasio yang logis atau makna tersebut ( penggunaan alat atau benda yang patut diduga kuat dapat mengakibatkan hilangnya nyawa) sehingga perbuatan itu termasuk jangkauan nash dan karena itu pelakuna dapat dijatuhi hukuman qisas. Dengan demikian, hukuman qisas yang dijathkan terhadap pelakupembunuhan secara sengaja dengan menggunakan pedang/pisau atau senjata tajam didasarkan ibarat al-nass, sedangkan membunuh dengan melemparkan bongkahan batu besar ketubuhnya didasarkan pada dilalalt al-nass.
Konsep Dilalat Al-Iqtida’
Dilalat al-Iqtida’ yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemehaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Dilalat al-iqtida atau iqtida’ al-nass adalah penunjukkan atas makna (hukum) yang tersembunyi (al-muqtada) dalam nash, yang notabene dituntut oleh logika atau logika rasio sehingga makna nash tersebut secara keseluruhan logis secara syar’I atau rasio. Jelasnya, ketika terdapat suatu nash, dan ia tidak dapat dipahami secara logis menurut rasio atau syar’I, melainkan harus dengan mengasumsikan makna (hukum) tertentu sehingga ia dapat dipahami secara logis menurut rasio atau syar’i. pemahaman demikian itulah yang dikatakan dilalat al-iqtida’
Berikut adalah contoh dilalat al-iqtida’
Hadits Nabi:
Artinya: ”telah diangkat/dilepaskan dari umatku (dosa-dosa) dari perbuatan-perbuatan ketidaksengajaan, keterlupaan, dan keterpaksaan.” (HR.Ibnu Majah,at-Thobrani, dan al-hakim)
Berkenaan dengan hadits ini, dapat dijelaskan bahwa entitas kesalahan dan kelupaan tidaklah dapat diangkat/dilepaskan dari umat Islam, terbukti kedua hal itu tetap dialami oleh mereka, dan ini tidak logis secara syar’I atau aqli. Oleh karena itu, mesti ada makna tersembunyi yang dapat diasumsikan yakni dosa; sehingga makna yang dimaksud adalah setiap perbuatan salah, lupa, dan terpaksa dibebaskan/dilepaskan pelakunya dari beban dosa. Inilah makna/pemahaman yang logis secara syar’I atau aqli dari nash tersebut, dan pemahaman yang demikian itu dinamakan dilalat iqtida’.
Hadits Nabi:
Artinya: “tidak shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah.” (HR.Tirmidzi)
Berkenaan dengan hadits ini, dapat dijelaskan bahwa entitas perbuatan shalat tidak dapat ditiadakan dari umat Islam, terbukti kedua hal ini tetap terwujud dalam kenyataan kehidupan mereka, dan ini tidak logis secara syar’iatau aqli. Oleh karena itu, mesti ada makna tersembunyi yang dapat diasumsikan, yakni kesahan atau kesempurnaan, sehingga makna yang dimaksud adalah “tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-fatihah” atau “tidak sempurna shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-fatihah”. Inilah makna/pemahaman yang logis secara syar’I dari nash tersebut.dan pemahaman yang demikan dinamakan dilalat al-iqtida’
Konsep mafhum mukhalafah
Pengertian mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan (tersirat).
Para ahli ushul fiqih mendefinisikan mafhum sebagai berikut:
“mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)”
Pengertian mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Mafhum mukhalafah ialah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq
Contoh mafhum mukhalafah
firman Allah SWT surat al jumuah ayat 9 :
كُنْتُمْ إِنْ لَكُمْ خَيْرٌ ذَٰلِكُمْ ۚالْبَيْعَ وَذَرُوا اللَّهِ ذِكْرِ إِلَىٰ فَاسْعَوْا الْجُمُعَةِ يَوْمِ مِنْ لِلصَّلَاةِ دِيَ نُوإِذَا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
(9)تَعْلَمُونَ
Artinya:hai orang-orang beriman,apabila diseru untuk menunaikan shalat jumat,maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli di hari jumat sebelum adzan mauazin dan sesudah mengerjakan shalat.mafhum mukhalafah ini dinamakan juga dalil khitab
firman Allah SWT surat al isra ayat 23 :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia”. (Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.
Berikut contoh hadis:
“Setiap kambing yang mencari rumput sendiri kalau sudah mencapai 40 ekor wajib zakat satu ekor.”
kata saaimah (mencari rumput dengan digembala, bukan menunggu di kandang) menjadi sifat bagi kambng yang wajib dizakati. Pemahaman terbaliknya kalau dia tidak digembala alias kambing kandangan hanya menunggu tuannya bawakan rumput maka dia tak wajib dizakati. Itulah pemahaman jumhur berbeda dengan madzhab Hanafi.
Syarat mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat ,baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.
Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”(Q.S.isra ayat 31)
Ayat tersebut secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena takut miskin.mafhum mukhalafahnya berarti “membunuh anak tidak karena takut miskin”.dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak di perbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu:
“jangan kamu membunuh manusia yang dilarang kecuali dengan kebenaran”.(QS.al isra ayat 33)
Berdasarkan dalil mantuq diatas baik takut miskin(mantuq)maupun tidak takut miskin(mafhum)tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak
Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
“Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”. (QS. An-Nisa’:23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa “anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi”. Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan “yang kamu pelihara” hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti “muslim” lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu “diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim”. Sebab perkataan “muslimun” hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab apabila dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
BAB III
PENUTUP
Rangkuman
Dilalat al-nass adalah penunjukkan lafal atas makna (hukum) bagi sesuatu yang didiamkan atau tidak dinyatakan oleh nash, sesuai dengan makna (hukum) bagi sesuatu yang dinyatakan oleh nash, dan penunjukkan tersebut berdasarkan suatu rasio yang logis atau makna yang dikandungnya.
Dilalat al-Iqtida’ yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemehaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Dilalat al-iqtida atau iqtida’ al-nass adalah penunjukkan atas makna (hukum) yang tersembunyi (al-muqtada) dalam nash, yang notabene dituntut oleh logika atau logika rasio sehingga makna nash tersebut secara keseluruhan logis secara syar’I atau rasio. Jelasnya, ketika terdapat suatu nash, dan ia tidak dapat dipahami secara logis menurut rasio atau syar’I, melainkan harus dengan mengasumsikan makna (hukum) tertentu sehingga ia dapat dipahami secara logis menurut rasio atau syar’i. pemahaman demikian itulah yang dikatakan dilalat al-iqtida’
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh .Jakarta:Amzah,
Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqih .Jakarta:Prenada Media
Manna khalil al-qattan. 1996. Studi ilmu-ilmu Qur’an,Jakarta
abdul hamid hakim.mabadi awaliyah
Muchotob Hamzah. Study Al-Qur’an Komprehensif
https://ozekage.wordpress.com/makalah-ushul-fiqh-mantuk-wa-mafhum/diakses pada 13 september 2016 21:30
Komentar
Posting Komentar