Fiqh Kontemporer: Problematika Zakat Profesi

BAB I 
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument zakat profesi di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta). Dengan munculnya zakat profesi ini menimbulkan banyak perbincangan. Mereka yang menentang penerapan zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan dan memenuhi nisab.
Zakat profesi itu sendiri merupakan zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi atau hasil profesi jika telah mencapai nisabnya.  Zakat profesi memang belum dikenal dalam khazanah keilmuan Islam, jadi banyak diperdebatkan. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian zakat profesi, dasar hukum zakat pandangan para ulama dalam zakat profesi.

Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan zakat profesi?
  2. Bagaimana dasar hukum mengenai zakat profesi?
  3. Bagaimana nisab dan haul zakat profesi?
  4. Bagaimana pendapat para ulama mengenai zakat profesi?
  5. Apakah sama antara zakat profesi dengan pajak penghasilan?



Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian zakat profesi.
  2. Untuk mengetahui dasar hukum zakat profesi.
  3. Untuk mengetahui nisab dan haul zakat profesi.
  4. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang zakat profesi.
  5. Untuk mengetahui hukum membayar zakat profesi dengan pajak penghasilan.

BAB II 
PEMBAHASAN

Pengertian Zakat
Dari  segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakah, “keberkahan” al-namma “pertumbuhan dan perkembangan” al-thoharoh, “kesucian”. Menurut pendapat Hasbuallah Bakry, dalam bukunya yang berjudul Islam Indonesia, yang dimaksud zakat menurut bahasa berasal dari kata zaka, tuzakki, tazkiyah, yang mempunyai arti membersihkan atau mensucikan yang bukan haknya. Sedangkan kalau dilihat dari istilah syariat, zakat adalah bagian wajib yang telah ditentukan baik waktunya (nisab), dan memberikanya kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam kitab fathul qorib disebutkan delapan golongan yang berhak menerima zakat antara lain, orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, mu’allaf, hamba sahaya yang sedang menebus dirinya agar merdeka, orang-orang yang punya hutang (karna kepentingan agama), orang yang berperang untuk agama Allah (jihad fii sabilillah), dan musyafir yang kehabisan bekal dalam perjalanannya.
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil yang diperoleh dari pekerjaan atau profesi. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun pekerjaan yang dikerjakan seseorang untuk pihak lain, baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.  yang demikian, apabila sudah mencapai nisab dan haulnya pendapatan yang hasilkan harus dikeluarkan zakatnya.


Dasar Hukum
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut apabila telah mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya . hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, yaitu surat Adz-Adzariyat ayat 19 dan Al-Baqarah 267.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Kata “ ما “ adalah termasuk kata yang mengandung pengertian yang umum, yang artinya “apa saja” jadi ” كسبتمما “ artinya “sebagian dari hasil(apa saja) yang kamu usahakan yang baik-baik.” maka jelaslah, bahwa semua macam penghasilan (gaji, honorarium, dan lain-lainnya) terkena wajib zakat berdasarkan ketentuan surat al-Baqarah ayat 267 tersebut yang mengandung pengertian yang umum, asal penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan kelurganya yang berupa sandang, pangan, papan beserta alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja/ usaha, kendaraan, dan lain-lain yang tidak bisa diabaikan ; bebas dari beban hutang , baik terhadap Allah seperti nazar haji yang belum ditunaikan maupun terhadap sesama manusia; kemudian sisa penghasilannya masih mencapai nisab.
Menurut Sayyid Qutb penafsirannya adalah bahwa ayat ini adalah seruan secara umum kepada orang-orang yang beriman pada setiap waktu dan generasi dan meliputi semua harta yang sampai ke tangan mereka. Juga meliputi hasil usaha mereka yang halal dan baik, dan meliputi apa yang dikeluarkan oleh Allah dari bumi untuk mereka, baik berupa tumbuh-tumbuhan maupun bukan tumbuh-tumbuhan, yang dikeluarkan dari dalam tanah, yang meliputi barang-barang tambang dan minyak. Oleh karena itu, nash ini mencakup semua jenis harta, yang dijumpai pada zaman Nabi saw. Dan yang akan ditemukan nanti. Nash ini meliputi dan menyeluruh (syamil jami‟). Tidak ada satu pun jenis harta yang lepas darinya, kapan pun waktunya. Semuanya terkena kewajiban zakat sebagaimana kewajiban nash itu. Sedangkan ukurannya diterangkan dalam As- Sunnah sesuai dengan jenis hartanya sebagaimana yang sudah terkenal waktu itu. Kemudian, jenis-jenis harta yang baru diqiaskan kepadanya.
Menurut Quraish Shihab semua hasil usaha manusia bermacam-macam, sehingga dari hari ke hari dapat muncul usaha-usaha baru yang belum dikenal sebelumnya ini tercakup dalam ayat ini, yang mana artinya kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Kalau memahami perintah ayat ini dalam arti perintah wajib, maka semua hasil usaha apa pun bentuknya, wajib dizakati termasuk gaji yang diperoleh seorang pegawai. Jika gajinya telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam konteks rasulullah. Maupun yang belum dikenal, atau yang tidak dikenal ditempat turunnya ayat ini.
Didalam permasalahan zakat profesi terdapat pertentangan para ahli fiqih, pendapat sebagian para ahli fiqih mengatakan zakat profesi itu hukumnya wajib. Kemudian pendapat sebagian ahli fiqih lainnya yang menolak adanya zakat profesi dengan alasan bahwa zakat profesi tidak pernah dilakukan pada zaman nabi juga tidak ada hadist dari nabi Muhammad yang mewajibkannya, dan keumuman ayat dalam surat al-Baqarah ayat 267 tersebut sudah dikhususkan dengan oleh Nabi Muhammad SAW.27 Kata "كسبتمما" dalam surat al-Baqarah ayat 267 itu bersifat umum "عام " dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadits rasulullah SAW. Tentang bentuk dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, hukum am dan khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqih : 
العام بعذ التخصيص حجه في الباقي
“lafadz am yang telah ditakhsis tetap dapat dijadikan hujjah pada makna yang masih tertinggal.”
Meskipun zakat itu termasuk ibadah, tetapi bukanlah ibadah mahdah melainkan ibadah ijtima’iyah. Zakat pada dasarnya adalah untuk merealisasikan keadilan yang menjadi tujuan hukum Islam.

Nisab dan Haul
Nisab merupakan batas minimal atau jumlah minimal harta yang dikenai kewajiban zakat. Karena zakat profesi ini tergolong baru, nisabnya pun mesti dikembalikan (dikiaskan) kepada nishab zakat-zakat yang lain, yang sudah ada ketentuan hukumnya. Ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk ukuran nishab zakat profesi ini:
Disamakan dengan nishab zakat emas dan perak, yaitu dengan mengkiaskannya kepada emas dan perak sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20 dinar atau 93,6 gram emas. Berdasarkan Hadis Riwayat Daud: (Tidak ada suatu kewajiban bagimu dari emas (yang engkau miliki) hingga mencapai jumlah 20 dinar).
Disamakan dengan zakat hasil pertanian yaitu 5 wasq ( sekitar 750 kg beras). Zakatnya dikeluarkan pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5 atau 10 %, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. 
Nisab dan cara mengeluarkan zakat profesi ada beberapa perbedaan pendapat dari  para Ulama ahli fiqih dalam menentukan nisab dan cara mengeluarkan zakat profesi. Dari pendapat-pendapat mereka adalah:
Ulama dari Empat Mazhab berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta kecuali sudah mencapai nishab dan sudah memiliki tenggang waktu satu tahun. Adapun nishabnya adalah senilai 85 gram emas dengan kadar zakat sebesar 2,5%.
Pendapat yang penulis ambil dari Syeikh Muhammad Ghazali yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, baik dalam nishab maupun persentase zakat yang wajib dikeluarkan, yaitu 10%.
Pendapat yang menganalogikan zakat profesi ini pada dua hal, yaitu dalam hal nishab pada zakat pertanian, sehingga dikeluarkan pada saat diterimanya, dan pada zakat uang dalam hal kadar zakatnya yaitu sebesar 2,5%. Pendapat yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat pertanian, antara lain diambil dari pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud, dan Mu’awwiyah, dan juga dari sebagian seperti Imam Zuhri, Hasan Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq, Nashir, dan Daud Dzahiri.
Haul merupakan batas waktu minimal harta yang disimpan, seperti uang, emas dan sebagainya. Akan tetapi, bagi zakat penghasilan yang bersifat temporer, batas minimal yang wajib dikeluarkan zakatny, haul pada saat penghasilan itu diperoleh. Sehingga haul penghasilan dianalogikan dengan haul pertanian, yakni ditetapkan zakatnya pada setiap kali panen. Apanila diasumsikan dengan zakat perdagangan, yakni haulnya setahun dan nisabnya sejumlah harga 94 gram emas.



Pendapat Ulama
Secara fiqh formal (yuridis), zakat adalah ibadah individual untuk kepentingan sosial. Oleh karena itu, harta yang dikenai zakat adalah harta yang dimiliki secara sempurna oleh perorangan muslim dewasa, dan sudah mencapai nishab (batas minimal kewajiban zakat, yaitu senilai 90 gram emas). Yang dimaksud profesi adalah suatu pekerjaan yang terkait erat dengan kemampuan dan keterampilan individu, baik dilakukan secara personal maupun institusional, seperti dokter, arsitek, pengacara, pegawai, tentara, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud jasa adalah suatu pekerjaan yang terkait erat dengan kemampuan menyediakan fasilitas bagi keperluan orang banyak, seperti usaha perhotelan, rumah/kamar kontrakan, jasa transportasi, dan sebagainya.
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa penghasilan profesi ataupun jasa wajib dikenai zakat, bahkan untuk zakat profesi tidak perlu menunggu satu tahun. Hal ini didasarkan pada ‘illat wajibnya zakat, yaitu pertumbuhan/pertambahan, dan demi terwujudnya hikmah disyariatkannya zakat, serta mengikuti pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in (az-Zuhri, al-Hasan al-Bashri, dan Makhul), Umar bin Abdul Aziz, al-Baqir, Dawud azh-Zhahiri, dan lain-lain.
Sementara Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa orang yang berpenghasilan minimal sama dengan penghasilan petani yang wajib zakat, maka dia juga wajib zakat. Oleh karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pegawai, dan profesi lainnya yang berpenghasilan besar wajib mengeluarkan zakat. Karena tidak tergambarkan di akal bahwa Islam mewajibkan zakat kepada petani dan membiarkan pemilik (persewaan) apartemen yang penghasilannya sepuluh kali lipatnya petani, atau dokter yang penghasilan seharinya boleh jadi sama dengan penghasilan petani dalam setahun. Pendapat ini bersandar pada pemahaman terhadap QS. Al-Baqarah ayat 267. 
Keberadaan zakat profesi sejak awal memang selalu menjadi kontroversi di kalangan ulama. Ini sebuah realita yang tidak bisa ditolak, karena nyata-nyata perbedaan itu ada.
Kalangan Yang Tidak Menerima Zakat Profesi
Di antara kalangan yang tidak setuju dengan adanya zakat profesi, terdiri para tokoh ulama di masa modern dan juga beberapa lembaga fatwa yang terkenal.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Dr. Wahbah Az-Zuhaili salah satu tokoh ulama kontemporer menuliskan pikirannya di dalam kitabnya, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu sebagai berikut :
والمقرر في المذاهب الأربعة أنه لا زكاة في المال المستفاد حتى يبلغ نصاباً ويتم حولا
Yang menjadi ketetapan dari empat mazhab bahwa tidak ada zakat untuk mal mustafad (zakat profesi), kecuali bila telah mencapai nishab dan haul. 
Dalam tanya jawab langsung dengan ulama asal Suriah ini di Masjid Baitul Mughni, Penulis berkesempatan untuk bertanya kepada beliau tentang kedudukan zakat profesi ini. Jawaban beliau tegas sekali saat itu, bahwa zakat profesi ini tidak punya landasan yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Padahal zakat itu termasuk rukun Islam, dimana landasannya harus qath’i dan tidak bisa hanya sekedar hasil pemikiran dan ijtihad pada waktu tertentu.
Dalam pendapatnya ini, Dr. Wahbah Az-Zuhaili bisa Penulis golongkan sebagai kalangan ulama moderat kontemporer yang tidak menerima keberadaan zakat profesi. Namun beliau memberikan kelonggaran bagi mereka yang mewajibkan zakat profesi. Beliau menuliskan sebagai berikut :
ويمكن القول بوجوب الزكاة في المال المستفاد بمجرد قبضه، ولو لم يمض عليه حول أخذاً برأي بعض الصحابة ابن عباس وابن مسعود ومعاوية
“Dan dimungkinkan adanya pendapat atas kewajiban zakat pada mal mustafad semata ketika menerimanya meski tidak sampai satu tahun, karena mengambil pendapat dari sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah.”
Syeikh Bin Baz
Syeikh Abdullah bin Baz mufti Kerajaan Saudi Arabia di masanya bisa dikategorikan sebagai ulama masa kini yang juga tidak sepakat dengan adanya zakat profesi ini. Berikut petikan fatwanya :
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati.”
Beliau mensyaratkan adanya nishab dan haul, sedangkan intisari dari zakat profesi justru meninggalkan kedua syarat tersebut.
Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia di masanya. 
“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.  Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya”. 
Hai'atu Kibaril Ulama
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:
"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)”.
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Di dalam negeri sebagian kalangan ulama dari Nahdhatul Ulama juga termasuk ke dalam barisan yang tidak sejalan dengan zakat profesi. Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di asrama haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 25-28 Juli 2002 bertepatan dengan 14-17 Rabiul Akhir 1423 hijriyah telah menetapkan hukum-hukum terkait dengan zakat profesi. Berikut kutipannya :
Intinya pada dasarnya semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar), baik dari hasil kerja profesional/non-profesional, atau pun hasil industri jasa dalam segala bentuknya, yang telah memenuhi persyaratan zakat, antara lain: mencapai satu jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah, dikenakan kewajiban zakat. 
Dari keputusan ini kita bisa menyimpulkan, apabila seseorang mendapat gaji atau honor, tidak langsung wajib berzakat, karena harus terpenuhi dua hal, yaitu nishab dan niat tijarah. Niat tijarah maksudnya adalah ketika seseorang bekerja, niatnya adalah berdagang atau berjual-beli. Dan ini sulit dilaksanakan, lantaran agak sulit mengubah akad bekerja demi mendapat upah dengan akad berjual beli. Oleh karena itu keputusan itu ada tambahannya : “Akan tetapi realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut, lantaran tidak terdapat unsur tijarah (pertukaran harta terus menerus untuk memperoleh keuntungan”.
Sekilas kita akan sulit memastikan sikap dari musyarawah ini, apakah menerima zakat profesi atau tidak. Karena keputusan ini masih bersifat mendua, tergantung dari niatnya. Akan tetapi tegas sekali bahwa kalau yang dimaksud dengan zakat profesi yang umumnya dikenal, yaitu langsung potong gaji tiap bulan, bahkan sebelum diterima oleh yang berhak, keputusan ini secara tegas menolak kebolehannya. Sebab dalam pandangan mereka, zakat itu harus berupa harta yang sudah dimiliki, dalam arti sudah berada di tangan pemiliknya.
Dewan Hisbah Persis
Persatuan Islam (PERSIS) yang diwakili oleh Dewan Hisbah telah berketetapan untuk menolak zakat profesi, dengan alasan karena zakat termasuk ibadah mahdhah. Barangkali maksudnya, kita tidak dibenarkan untuk menciptakan jenis zakat baru, bila tidak ada dalil yang tegas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan zakat profesi tidak punya landasan yang sifatnya tegas langsung dari keduanya.
Namun insitusi ini menerima adanya kewajiban infaq bagi harta yang tidak terkena zakat. Maka karena bukan termasuk zakat, gaji itu perlu diinfaqkan, tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut. Maka tidak ada besarannya yang baku, dan dalam hal ini pimpinan jam’iyah dapat menetapkan besarnya infaq tersebut.
Muktamar Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan:
“Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya".
"Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab".
"Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun”.
Kalangan Yang Mendukung Zakat Profesi
Ada banyak hujjah yang mendasari kenapa para ulama dan juga lembaga fatwa di atas tidak menerima keberadaan zakat profesi. Kalau kita sebutkan satu per satu, susunannya sebagai berikut :
Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat hasil pekerjaan dan profesi).
Sesungguhnya beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdul Wahhab Khalaf. Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi.
Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan. Dan sebenarnya disitulah letak titik masalahnya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa diantara syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah haul.
Sementara Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.
Dr. Abdul Wahhab Khalaf
Dalam kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf.
Abdul Wahab adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min Al-Islam.
Saya memasukkan beliau di kalangan pendukung zakat profesi dengan alasan beliau adalah orang yang memberi inspirasi awal kepada Dr. Yusuf Al-Qaradawi tentang pemikiran dan ide dicetuskannya zakat profesi. Namun anehnya kalau kita rujuk langsung kepada pendapat beliau, sebenarnya beliau lebih tepat didudukkan sebagai orang yang tidak sejalan dengan zakat profesi. Dalam kuliah yang beliau sampaikan tentang zakat, disebutkan bahwa zakat profesi itu wajib, namun harus memenuhi syarat haul dan nishab dulu. Berikut kutipannya :
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja dan profesi diambil zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah mencapai nishab.
Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Selain Abdul Wahhab Khalaf, di kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi juga menyebutkan bahwa Syeikh Abu Zahrah termasuk orang yang mendukung adanya zakat profesi. Syeikh Muhammad Abu Zahrah adalah guru dari Al-Qaradawi. Beliau adalah sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia.
Namun kalau kita telaah fatwa Abu Zahrah dan juga Abdul Wahhab Khalaf dengan cermat, sebenarnya yang mereka fatwakan bukan zakat profesi yang umumnya dimaksud. Sebab ada syarat haul dan nishab. Kalau ada kedua syarat itu, setidaknya syarat haul, maka zakat itu lebih merupakan zakat atas harta yang ditabung atau disimpan. Padahal inti dari zakat profesi itu tidak membutuhkan haul, sehingga begitu diterima, langsung terkena zakat.
Namun rupanya Dr. Yusuf Al-Qaradawi bersikeras menggolongkan mereka sebagai pendukung zakat profesi, padahal yang dimaksud agak berbeda kriterianya.
Muhammad Al-Ghazali
Dalam fatwanya. Dr. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang penghasilannya di atas petani yang terkena kewajiban zakat, maka dia pun wajib berzakat. Maka doker, pengacara, insinyur, produsen, pegawai dan sejenisnya diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka yang terhitung besar itu.
Majelis Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat.
Lampiran 2
Keputusan Munas Tarjih XXV
Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga
Zakat Profesi
Zakat Profesi hukumnya wajib.
Nisab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat
Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 %
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) termasuk ke dalam barisan pendukung zakat profesi. Dalam fatwa MUI 7 Juni tahun 2003 disebutkan bahwa : 
Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.
1. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. 2. Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. Fatwa MUI ini menarik dikaji dan setidaknya ada dua catatan yang menarik.
Pertama: Nishabnya Mengikuti Emas Bukan Pertanian, disebutkan bahwa semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya, dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.Kalau kita bandingkan dengan fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi, nishabnya bukan kepada emas 85 gram, melainkan kepada hasil pertanian 653 kg gabah kering atau 520 kg beras. Bahkan lebih jauh, meski pun penghasilannya belum mencapai nisab sekalipun, tetap sudah bisa membayar zakat. caranya dengan membuat pengandaian. Maksudnya, seolah-olah sudah terima gaji untuk setahun ke depan.
Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.
Kedua : Tanpa Haul, dalam hal ini, MUI tidak mensyaratkan harus ada masa kepemilikan selama setahun. Pokoknya kalau jumlah penghasilan itu mencapai nisab emas, maka wajib langsung dikeluarkan zakatnya. Ini adalah doktrin dasar zakat profesi. Padahal kalau mengacu kepada fiqih zakat yang original, harta itu harus dimiliki dulu selama setahun penuh (haul) sejak awal hingga akhir tahun. Kalau belum dimiliki setahun, belum terkena zakat.
Dr. K. H. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Di Indonesia, salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal adalah Dr. K. H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. sebagaimana naskah disertasi doktor yang diajukannya. Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan.
Dalam disertasi doktor yang berjudul Zakat dalam Perekonomian Modern, yang berhasil diraihnya lewat Universitas Islam Negeri Jakarta, paling tidak beliau menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh jenis zakat di masa modern, yaitu :
Zakat Profesi
Zakat Perusahaan
Zakat Surat Berharga
Zakat Perdagangan Mata Uang
Zakat Hewan Ternak yang Diperdagangkan
Zakat Madu dan Produk Hewani
Zakat Investasi properti
Zakat Asuransi Syari’ah
Zakat Usaha Tanaman Angrek, Walet, Ikan Hias
Zakat Sektor Rumah Tangga.

Hukum Niat Membayar Zakat Profesi dengan Pajak Penghasilan
Pada zaman Nabi saw. dan Khulafa’ur Rasyidin zakat dikenakan khusus kepada penduduk yang beragama Islam. Sedang penduduk nonmuslim tidak dikenai zakat, melainkan dikenai “pajak”. Dengan demikian, tidak ada penduduk yang terkena beban ganda (zakat dan pajak). Hal ini terjadi karena pranata sosial waktu itu masih relatif sederhana dan sumber-sumber ekonomi juga belum bervariasi. 
Tetapi pada masa-masa berikutnya, setelah Islam meluas dan sumber penghasilan makin variatif, maka terajadi perbedaan pendapat diantara fuqaha tentang apakah pembayar pajak itu dapat sekaligus meniatkannya untuk membayar zakat, karena kadar pajak itu hampir selalu lebih tinggi dari kadar zakat.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan apapun pajak itu tidak dapat menggantikan zakat. Hal ini didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut.
Dasar hukumnya berbeda. Zakat didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, sedangkan pajak hanya berdasar peraturan perundang-undangan buatan manusia.
Statusnya berbeda. Zakat adalah ibadah yang merupakan kewajiban terhadap agama, sedang pajak adalah muamalah yang merupakan kewajiban terhadap negara, 
Objeknya berbeda. Zakat merupakan kewajiban khusus bagi orang yang beragama Islam, sedangkan pajak merupakan kewajiban bagi semua penduduk, apapun agamanya, 
Kriterianya berbeda. Kriteria kekayaan yang terkena wajib zakat adalah harta yang halal dan sudah mencapai nishab, sedangkan kriteria kekayaan yang terkena pajak adalah semua jenis kekayaan, halal ataupun haram, besar ataupun kecil.
Pos penggunaannya berbeda. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos (ashnaf) yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60.
۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠ 
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Sedangkan pos penggunaan pajak tidak terikat dengan ayat di atas, dan cenderung lebih luas mencakup penduduk, apapun agamanya.
Hikmahnya berbeda. Zakat berfungsi menyucikan jiwa dan berbagi dengan sesama, sedang pajak berfungsi sebagai biaya pengelolaan atau pembangunan suatu negara.
Beberapa fuqaha antara lain Ahmad bin Hanbal, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa jika pajak itu dikenakan secara berlebihan, maka orang yang terkena pajak tersebut boleh sekaligus meniatkannya sebagai zakat. Hal ini didasarkan pada pertimbangan agar tidak memberatkan (daf’an lil haraj). Hanya masalahnya adalah kadar pajak yang berlebihan itu seberapa, fuqaha tidak menetapkannya, sehingga sandarannya adalah common sense (kesan umum) di masyarakat. Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. dalam bukunya yang berjudul Fiqih Kontemporer bahwa pajak yang ditetapkan di atas 20% termasuk kategori berlebihan, sebab kadar zakat tertinggi dalam fiqh adalah 20%, yaitu mengenai harta karun dan barang tambang (rikaz wal ma’adin).
Sebagian fuqaha kontemporer, antara lain Masdar Farid Mas’udi (tokoh NU) berpendapat bahwa pajak sekaligus dapat diniatkan sebagai zakat karena essensi keduanya sama, yakni untuk kesejahteraan atau kepentingan bersama, apalagi kadar pajak selalu lebih tinggi dari kadar zakat. Dengan kata lain orang yang sudah membayar pajak itu berarti otomatis sudah membayar zakat, sedangkan orang yang membayar zakat belum tentu (hampir pasti tidak) sebagai pembayar pajak.
Jika kadar pajak itu secara umum dianggap wajar (kurang dari 20%), maka zakatnya harus dibayar sesuai ketentuan zakat, namun jika pajak itu tidak wajar (lebih dari 20%) maka pembayar pajak boleh meniatkannya sekaligus untuk membayar zakat karena sumbangsih orang tersebut telah cukup besar bagi kesejahteraan dan kepentingan bersama. 
Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A., sebaiknya kita selalu memisahkan pajak dengan zakat. Artinya, walau kita sudah membayar pajak sebesar apapun, sebaiknya tetap mengeluarkan zakat. Dan kadar zakat profesi itu hanya 2,5%.

Analisis Zakat Profesi
Baik pihak yang tidak setuju dengan keberadaan zakat profesi maupun pihak yang mendukungnya, sama-sama punya dalil dan argumentasi yang sulit untuk dipatahkan begitu saja.  Para penentang keberadaan zakat profesi adalah para ulama bahkan dari segi jumlah, kalau dibandingkan dengan jumlah ulama yang mendukung, jumlah mereka jauh lebih banyak, karena merupakan representasi dari pendapat umumnya para ulama sepanjang zaman. Para penentang zakat profesi ketika menolak keberadaannya umumnya selain selain lewat mempertanyakan dalil, juga mengkritik teknis pelaksanaannya yang rancu.
Zakat Ibadah Mahdhah
Dalil yang paling sering dikemukakan oleh mereka yang menentang keberadaan zakat profesi adalah bahwa zakat merupakan ibadah mahdhah, dimana segala ketentuan dan aturannya ditetapkan oleh Allah SWT lewat pensyariatan dari Rasulullah SAW. Kalau ada dalil yang pasti, maka barulah zakat itu dikeluarkan, sebaliknya bila tidak ada dalilnya, maka zakat tidak boleh direkayasa.
Tidak Ada Nash dari Al-Quran dan As-Sunnah
Prinsipnya, selama tidak ada nash dari Rasulullah SAW, maka kita tidak punya wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan ingin menghalangi orang yang ingin bersedekah atau infaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu punya banyak aturan dan konsekuensi.
Sedangkan bila para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai itu ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan. Namun janganlah ketentuan itu dijadikan sebagai aturan baku dalam bab zakat.
Sebab bila tidak, maka semua orang yang bergaji akan berdosa karena meninggalkan kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan bila hal itu hanya dimasukkan ke dalam bab infaq sunnah, tentu akan lebih ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang merepotkan.
Tidak Pernah Ada Sepanjang 14 Abad
Selama nyaris 14 abad ini tidak ada satu pun ulama yang berupaya melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru. Padahal sudah beribu bahkan beratus ribu kitab fiqih ditulis oleh para ulama, baik yang merupakan kitab fiqih dari empat mazhab atau pun yang independen. Namun tidak ada satu pun dari para ulama sepanjang 14 abad ini yang menuliskan bab khusus tentang zakat profesi di dalam kitab mereka.
Bukan karena tidak melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan semata-mata mengacu kepada rasa keadilan. Tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW. Dan tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.
Para pendukung zakat profesi mempunyai tiga alasan untuk menegakkan pendirian mereka atas eksistensi zakat profesi. Pertama, mereka berlindung di balik azas keadilan dan realitas. Kedua, mereka mensiasati syarat kepemilikan harta yang harus dimiliki setahun dulu dengan beberapa cara. Ketiga, mereka menggunakan dalil umum tentang wajibnya orang kaya membayar zakat, tanpa harus mempertimbangkan jenis dan bentuk kekayaannya.
Pertama : Asas Keadilan dan Realitas
Zakat profesi sebenarnya bukanlah zakat yang disepakati keberadaannya oleh semua ulama. Hal ini lantaran di masa lalu, para ulama tidak memandang profesi dan gaji seseorang sebagai bagian dari bentuk kekayaan yang mewajibkan zakat. Karena umumnya di masa lalu, belum ada sistem kepegawaian yang bergaji tinggi, kalau pun ada orang yang bekerja dan mendapat gaji, umumnya merupakan upah sebagai pembantu dan pekerjaan-pekerjaan sejenis yang rendah upahnya.
Di masa lalu, orang yang kaya identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas dan lainnya. Sedangkan seseorang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah, umumnya hanyalah pembantu dengan gaji seadanya. Sehingga di masa itu tidak terbayangkan bila ada seorang pekerja yang menerima upah bisa menjadi seorang kaya. Namun zaman memang telah berubah. Orang kaya tidak lagi selalu identik dengan petani, peternak dan pedagang belaka. Di masa sekarang ini, profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil.
Sebagai ilustrasi, profesi seperti lawyer (pengacara) kondang di masa kini bisa dengan sangat cepatnya memberikan pemasukan ratusan bahkan milyaran rupiah, cukup dengan sekali kontrak. Demikian juga dengan artis atau pemain film kelas atas, nilai kontraknya bisa untuk membeli tanah satu desa. Seorang pemain sepak bola di klub-klub Eropa akan menerima bayaran sangat mahal dari klub yang mengontraknya, untuk satu masa waktu tertentu. Bahkan seorang dokter spesialis dalam satu hari bisa menangani berpuluh pasien dengan nilai total pemasukan yang lumayan besar. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas tidak bayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Maka wajah keadilan syariat Islam tidak nampak.
Kedua : Tidak Harus Dimiliki Selama Satu Haul
Para pendukung zakat profesi sebenarnya agak tersandung dengan ketentuan baku yang mensyaratkan haul. Maksudnya, kebanyakan ulama memang menyepakati bahwa tidaklah suatu harta wajib dikeluarkan zakatnya kecuali setelah lengkap masa kepemilikan setahun. Untuk menjawab masalah haul ini, para pendukung punya berbagai macam cara, misalnya dengan mendhaifkan dalil keharusan haul, sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Jalan lainnya dengan mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian yang memang tidak mensyaratkan kepemilikan setahun. Dan ada juga yang bermain-main dengan alibi pengandaian. Maksudnya, meski secara kongkrit seorang pegawai belum memiliki gaji untuk jangka waktu setahun, namun alibi yang digunakan bahwa perusahaan tempat bekerja pasti sudah merencanakan atau menyiapkan gajinya untuk setahun. Maka seolah-olah pegawai itu sudah memiliki uang gaji untuk satu tahun ke depan. Sehingga kepadanya diwajibkan untuk mengeluarkan zakat, yang mana zakatnya mengacu kepada zakat atas emas dan perak yang dimiliki.
Ketiga : Intinya Orang Kaya Wajib Berzakat
Para pendukung zakat profesi umumnya berlindung di balik keumuman perintah Allah SWT yang mewajibkan orang kaya membayar zakat. Dan menurut mereka, Allah SWT tidak menetapkan jenis kekayaan tertentu untuk kewajiban zakat itu.
Pendeknya, kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupkan, lebih dari orang-orang pada umumnya, maka otomatis dia wajib membayar zakat. Sedangkan jenis harta tidak dijadikan pertimbangan, karena bisa saja jenis kekayaan tiap orang berbeda-beda untuk tiap negeri dan tiap zaman.
Masih menurut argumentasi mereka, kalau ketentuan zakat dipantek harus sejalan dengan zaman Rasulullah SAW, maka kebanyakan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa sekarang sangat berbeda dengan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa beliau SAW. Dan hal itu berarti akan ada begitu banyak orang yang kaya di masa sekarang ini yang tidak terkena beban kewajiban berzakat. Alasannya karena jenis hartanya tidak memenuhi kriteria sebagaimana di masa Rasulullah SAW. Dan menurut mereka, hal ini tidak benar dan tidak adil serta tidak masuk akal.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang di peroleh dari pekerjaan atau profesi. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya.
Dari uraian pendapat para ulama di atas tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah tokoh yang paling mempopulerkan zakat profesi. Akan tetapi jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdul Wahhab Khalaf. Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi. Sedangkan di Indonesia sendiri Majelis ulama Indonesia (MUI) dan Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib. Untuk nishab dalam mengeluarkan zakat profesi adalah 2,5% dari nisab dan satu haul. Hal ini sesuai juga dengan pernyataan MUI, kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah adalah 2,5%.









Daftar Pustaka

Hasan, M. Ali. 2003. Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hasan ,M. Ali. 2006. Zakat dan Infak, Jakarta: Prenada Media Group.
Laonso, Hamid dan Jamil, Muhammad. 2005. Hukum Islam Alternatif Solusi Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi.
Qardawi, Yusuf. 2007. Hukum Zakat, Bogor: Litera Antar Nusa.
Qutb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Pen. As’ad Yasin DKK, dari fi zhilalil Qur‟an, Cet Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al- Misbah, Vol- 1, Cet Ke-10, Jakarta: Lentera Hati.
Zuhdi, Majsfuk. 1997. Masail Fiqhiyah, Cet- 10, Jakarta: Toko Gunung Agung.
Zahro, Ahmad. 2018. Fikih Kontemporer (Buku 1), Jombang : PT Qaf Media Kreativa.

Komentar

Postingan Populer